Cianjur Jawa Barat, Pemugaran Situs Gunung Padang.
Sejarah Situs Megalith Gunung Padang di Kp. Padang, Desa Karyamukti, Kec. Campaka, Kab. Cianjur itu. Hanya sebuah bukit setinggi 885 meter dpl dengan 300 anak tangga yang di puncaknya berserakan bebatuan.
Kendati ada beberapa sudut dan komposisi bebatuan yang cukup unik karena berjajar dan bertumpuk rapi, bahkan ada yang mampu mengeluarkan nada berirama, namun tetap saja, melihat kenyataannya, Situs Gunung Padang hanyalah sebuah fenomena alam belaka.
Namun dalam beberapa bulan terakhir ini, keberadaannya yang tidak istimewa itu mulai “terusik” dengan berbagai testimoni, pernyataan hingga spekulasi yang mengatakan, Situs Gunung Padang tidak sekedar bukit batu, namun ada misteri dan rahasia peradaban di dalamnya.
Bahkan konon katanya, jikalau misterinya terungkap, maka akan merubah pandangan orang terhadap sejarah peradaban manusia temasuk membuka tabir rahasia peradaban masyarakat Sunda.
Karenanya, Situs Gunung padang ini pun kini tak lagi sebatas isu lokal masyarakat setempat, namun telah menjadi isu nasional bahkan internasional. Presiden SBY pun langsung menerjunkan tim khusus untuk meneliti situs itu.
Kendati dalam perjalanannya, upaya penelitian yang dilakukan oleh Tim Katastropik menuai beragam sikap keberatan hingga penolakan dan protes dari masyarakat Cianjur karena didasari rasa khawatir kegiatan riset akan merusak kawasan cagar budaya tersebut.
Namun suka atau tidak, perkembangan hasil penelitian yang diungkap cukup mengejutkan semua pihak. Tim Arkeologi maupun geologi menemukan berbagai hal “istimewa” di kawasan situs tersebut. Dugaan pun mengarah kepada kemungkinan adanya bangunan peradaban di kawasan tersebut yang telah tertimbun selama ribuan tahun.
Nanang, salah seorang Jupel (Juru Pelihara) Situs Gunung Padang mengungkapkan, apa dan bagaimana sejarah Situs Gunung Padang hingga saat ini masih misteri sehingga tidaklah mengherankan kini menjadi kontroversi.
“Ada tiga opsi yang ada di dalam tanah ini, pertama ada bangunan yang telah runtuh sehingga hanya menyisakan punden bebatuan, ruang kosong atau hanya memang berisi tanah belaka,” tutur Nanang dalam suatu kesempatan di lokasi situs.
Kemungkinan adanya bangunan di dalam tanah saat ini menjadi kemungkinan yang paling mungkin, apalagi kalau dikaitkan dengan penuturan masyarakat sekitar yang mengaku pernah melihat sebuah lorong masuk ke dalam tanah di kawasan situs tersebut.
“Saya masih ingat waktu masih umur sekitar 10 tahun pernah masuk ke dalam gua di tebing bukti ini (Gunung Padang, red),” tutur Dadi (52) salah seorang warga sekitar.
Dadi yang kini bertugas sebagai juru kunci situs tersebut bahkan masih ingat betul posisi lorong tersebut hingga saat ini. “Posisinya di sebelah timur sejajar dengan teras pertama. Namun waktu itu saya tidak terlalu jauh masuk ke dalam karena keburu dilarang bapak saya. Katanya pantangan masuk ke sana,” ungkapnya.
Kisah sang juru kunci itu pun kemudian menjadi bahan tim peneliti untuk mulai menguak tabir misteri situs. Uji geolistrik dan georadar 3D dari atas teras pertama menemukan anomali berupa indikasi gerbang setinggi 19 meter menuju sebuah kamar (chamber). Obyek itu pun menjadi fokus eskavasi yang dilakukan Tim Terpadu Penelitian Mandiri Gunung Padang.
Sayangnya, upaya menguak misteri Situs Gunung Padang lagi-lagi mendapat protes sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan budayawan dan pemerhati lingkungan. Akibatnya, proses penelitian jadi terkesan terputus-putus. Bahkan tim riset sendiri mengaku, hingga saat ini hasil penelitiannya belum solid karena belum menemukan benang merah antara satu temuan dengan temuan lainnnya.
“Kuat dugaan memang di sini pernah ada bangunan, namun bentuknya seperti apa, apakah seperti piramida atau seperti bangunan di jaman batu membutuhkan rekonstruksi yang total,” ungkap Ketua Tim Terpadu Penelitian Mandiri Gunung Padang, Deni Hilman Nata Wijaya.
Sementara di lain pihak, pemerintah setempat cenderung bersikap apatis meskipun secara tersurat memberikan dukungan atas kegiatan penelitian, kendati dalam perjalanannya terkadang terjadi beda keinginan, salahsatunya terkait rencana pembebasan lahan yang diinginkan tim peneliti.
“Tidak akan ada pembebasan lahan. Masyarakat setempat harus tetap berada di sana bahkan pada saatnya nanti harus turut dilibatkan dan diberdayakan,” tegas Bupati Cianjur, Tjetjep Muchtar Soleh.
Akhirnya, semua itu kembali kepada apa yang sebenarnya dicari dari Situs Gunung padang tersebut. Berbagai pendapat, spekualasi, mitos dan praduga-praduga serta hipotesa-hipotesa yang saat ini terus bergulir menjadi kontroversi apakah pada akhirnya nanti akan bermuara pada pemugaran kawasan tersebut.
Kalaupun memang demikian, maka sangat berat untuk melakukannya mengingat kawasan tersebut sudah membentuk bukit bebatuan yang padat. Lagipula, kalau pun toh upaya penelitian itu akan bermuara kepada pemugaran, selain membutuhkan waktu yang cukup panjang, dana yang harus disediakan pun akan sangat fantastis, bahkan kas negara sekali pun belum tentu mau dan mampu membiayainya.
“Untuk memugar situs ini tidak bisa mengandalkan APBN apalagi APBD, perlu bantuan dari luar negeri. Waktu yang dibutuhkannya pun cukup panjang, sekitar 10 hingga 20 tahun,” ungkap Dr. Ali Akbar, Arkeolog dari UI di lokasi situs belum lama ini.
Dengan melihat kenyataan itu, sejumlah pihak pun menjadi pesimis bahkan mulai memertanyakan destinasi dari proses penelitian tersebut. Apakah memang sebuah proses awal untuk mengungkap warisan purbakala bangsa ini? Atau sekedar kegiatan menghabiskan anggaran lembaga belaka sehingga pada saatnya nanti Situs Gunung padang ini akan ditinggalkan begitu saja setelah ada tempat lain yang lebih “misterius”